RELASIPUBLIK.OR.ID, KALIMANTAN BARAT || Meskipun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah jelas mengatur sanksi tegas terhadap penambangan ilegal, kenyataannya undang-undang ini belum mampu menjerat cukong Penambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah Kalimantan Barat. Aktivitas penambangan ilegal di Bengkayang dan Singkawang terus berlangsung, bahkan semakin meluas, menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan kerugian besar bagi negara.
Para cukong PETI di wilayah ini dikabarkan mampu berlindung di balik lahan milik perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Dengan memanfaatkan izin legal perusahaan, mereka melanjutkan aktivitas penambangan tanpa tersentuh oleh hukum. Fakta ini ditemukan dari hasil investigasi gabungan yang dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama awak media yang turun langsung ke lapangan.
Salah satu pasal yang mengatur sanksi bagi penambang ilegal adalah Pasal 158 UU Minerba. Pasal ini menyebutkan bahwa pelaku penambangan ilegal dapat dikenakan pidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar. Namun, penerapan pasal tersebut di lapangan masih jauh dari efektif. Penambang ilegal di Kalimantan Barat, terutama di wilayah Lasen, Singkawang Selatan, dan Gua Boma, Bengkayang, terlihat terus beroperasi meski undang-undang ini berlaku.
“Semakin banyaknya cukong yang berlindung di balik izin HGU PT membuktikan bahwa ada celah hukum yang mereka manfaatkan untuk melindungi diri,” ujar Purnomo, S.H., M.H., Ketua LSM penyelamat lingkungan. Ia juga mengkritik lemahnya penegakan hukum dan dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum (APH) yang turut melindungi para pelaku. Salah satu cukong, berinisial LBR, bahkan terang-terangan menyebut bahwa dirinya dilindungi oleh seorang oknum TNI, seperti yang terungkap dalam pesan WhatsApp yang diterima tim investigasi.
Selain penegakan hukum yang lemah, kerusakan lingkungan akibat aktivitas PETI di Kalimantan Barat juga menjadi sorotan. Hutan yang seharusnya dilindungi kini luluh lantak akibat penambangan ilegal. Pencemaran lingkungan, terutama oleh bahan kimia berbahaya seperti merkuri, telah merusak ekosistem dan berdampak buruk pada masyarakat sekitar. Bahkan, ancaman banjir bandang semakin nyata akibat hutan gundul yang tidak lagi mampu menahan aliran air.
Masyarakat setempat dan aktivis lingkungan berharap agar pemerintah dan aparat segera bertindak. “Undang-undang ini tidak hanya dibuat sebagai aturan di atas kertas, tetapi harus ditegakkan. Jika tidak, kita akan kehilangan lebih banyak lagi hutan, lingkungan, dan kehidupan masyarakat,” tegas Purnomo.
Di sisi lain, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Barat, Ir. H. Adi Yani, M.H., menegaskan bahwa pihaknya akan terus berupaya menindaklanjuti laporan terkait aktivitas PETI, termasuk mengevaluasi izin HGU perusahaan yang diduga digunakan sebagai tameng oleh cukong penambangan ilegal.
Namun, hingga kini, penambangan ilegal di Kalbar masih terus terjadi tanpa ada penindakan yang berarti. Undang-undang yang seharusnya melindungi lingkungan dan masyarakat dari kerusakan ternyata belum mampu menghadapi kenyataan di lapangan. Masyarakat berharap adanya tindakan tegas yang nyata dari pemerintah untuk mengatasi masalah yang sudah merusak hutan dan lingkungan di Kalimantan Barat ini.
( Red )
Sumber : Tim Gabungan Mata Elang Awak Media dan LSM Serta Aktivis Penyelamat Lingkungan.
Eksplorasi konten lain dari Relasi Publik
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Komentar